Terimakasih Gadis Baik


Sore itu adalah keindahan, harumnya menusuk ke angkasa, dia melayang sebagaimana hatiku yang terlepas dari belenggu kerinduan ini. Aku dengar lagi suara lirih yang penuh ketenangan keluar dari mulut yang terpasang pada wajah ayu nan lembut itu, kita yang dipertemukan dengan banyak manusia nantinya bisa mendapatkan waktu berdua untuk berbicara. Aku lihat senyummu itu, ruangan yang kita tempati sudah menjelma bagaikan surga kecil sebagai penampung beberapa cerita yang tidak begitu penting.

Kita membicarakan tentang manusia yang dikenal, sifat asli beberapa pribadi yang ada di bumi, buku-buku yang isinya sudah menjadi sejarah dalam benak kita masing-masing, bagaimana berjalannya kehidupan ini berjalan, serta garis masa lalu yang telah kita lalui. Pengalaman dari suara yang keluar dari mulut kita sudah tersimpan rapi dalam ingatanku. Aku menyadari bahwa hidupku baru berumur 32 menit.

Namun, waktu cerita tentang kita berhenti sejenak. Manusia lain selain kita datang menghampiri kursi duduk yang ada di depan mataku, aku senang dia bisa melepas rindu dengan teman-temannya senyuman tulus itu kini merekah menjadi senyuman bahagia sekarang. Waktu dan tempat sudah tak lagi milik berdua namun sudah menjadi milik bersama.
Semalam sebelum pertemuan ini berlangsung dia bercerita padaku, tentang air matanya yang turun karena merindukan teman-teman yang bersama dengan kami selama beberapa hari belakangan. Kami bekerja dengan semangat selama beberapa hari, dibalik kenyamanan dunia tuntutan kehidupan menjadi salah satu permata yang terselip ditengah-tengahnya. Hal itu sudah menjadi kenangan, dia merindukannya.

Aku tak ingin air mata itu turun dengan deras tanpa dibayar dengan kebahagiaan, diri ini tergerak untuk mempertemukan mereka dengan dia, rencana yang tersusun terlalu ceroboh memang, karena tempat pertemuan mendapat penjelasan beberapa menit sebelum kami berangkat. 

Pertemuan itu berlangsung. Keharuan, kebahagiaan, kerinduan, bahkan keraguan dalam diri kami masing-masing tercurah. Tidak ada rahasia disini. Ruangan ini begitu semarak, bagaikan letusan kembang api pada malam tahun baru, riuh yang ricuh membuat kebisingan ini menjadi menyenangkan. Mata dan hatiku tidak tertuju ke sana, semua bagian tubuh ini lebih sering memperhatikanmu, aku yang tidak peduli pada dunia kala itu hanya memandang pada satu arah, yaitu dirimu.

Tidak ada kemeriahan yang abadi, aku tau dan sangat mengerti hal itu. Kata usai memang tidak akan pernah hilang dari dunia ini selagi manusia masih hidup. Begitupun dengan obrolan kami, malam yang semakin pekat memberi isyarat untuk kami pulang dan merebahkan badan, setidaknya menghamburkan berbagai macam pemikiran dan beban yang terpikul pada hari ini. Sebanyak apapun wisata, ternyata kasur adalah pilihan terbaik untuk istirahat.

Satu persatu manusia yang tertawa lepas itu menuntut pergi, pamit yang sedikit haru membuat beberapa dari kami berharap untuk pertemuan selanjutnya terjadi. Kata pulang sudah menjadi seruling merdu ditelinga, begitupun dengan langkah kaki yang perlahan keluar dari pintu cafe ini.

Aku mengantarmu pulang, rasa suka dan ceria itu masih melekat pada diri kita masing-masing, di atas motor ini pembicaraan kita yang terputus itu kembali berlangsung. Pembahasan yang sedikit berbeda dari sebelumnya, tentang kopi ku yang terlalu manis, dirimu yang tidak menyukai pekatnya rasa pahit dari kopi, batuk ku yang menerpa karena meminum kopi itu, rasa kantuk mu yang perlahan hilang, kekhawatiran dirimu yang spontan karena mendengar suara batuk dari mulutku, keresahanmu yang tersalur dikarenakan tidak ku bawa obat asma yang telah engkau sarankan.

Dirimu berhenti bicara, pembicaraan tentang sakit asma yang sama kita derita menjadi pemutus kata dalam pembicaraan yang menenangkan itu. Seketika hawa dingin malam ini terlalu erat memelukku. Aku rasa kau juga sama.

Dirimu mengatakan ketakutan yang membuat diriku berubah semenjak malam itu, lewat suara yang lembut dia berkata “ngaa kamu jangan terlalu berharap pada ku ya, aku sudah lama sendiri dan baru ini merasakan kenyamanan denganmu, aku takut” 

Beberapa hari yang lalu kita sudah berterus terang tentang perasaan yang kita alami, bagaimana aku memandangmu dengan kenyamanan begitu pula yang engkau rasakan terhadapku. Toko buku yang menjadi saksi aksara itu terukir diatas hamparan kesibukan pasar. Kesenangan yang tidak normal melandaku, mungkin dirimu juga merasa seperti itu? Karena alangkah bahagianya dirimu saat mengirimkan pesan ke ponselku menunjukkan rasa terimakasih atas hari yang kita lalui, begitupun dengan gelang yang kuberikan.

Maaf, aku tak menyadari satu hal, rasa kasih yang engkau terima dengan hasil akhir berupa kesenangan membuat dirimu kembali mengingat masa lalu yang kelam. Aku mengerti bagaimana cara engkau menjaga arus komunikasi kita untuk kedepan, kejujuran dirimu meneguhkan bahwa ada cara agar hubungan kita tidak terputus oleh permainan semesta.
Engkau rela mengabaikan rasa nyaman mu. Masih diatas motor kala itu dirimu berkata bahwa engkau tidak ingin perhatian yang  diberikan membuat aku terlalu berharap memiliki mu, karena mas lalu mu yang mencekik itu masih saja menjadi bayangan yang susah dilupakan, dirimu takut. Jujur, aku lega engkau berterus terang.

Ketahuilah, aku merasa sangat bodoh saat kau berkata “aku merasa bersalah padamu ngaa, karena setelah kejadian itu dirimu merasa sangat senang” aku tidak menyadarinya, bahwa kesenangan yang engkau rasakan menjadi piringan hitam yang menyanyikan lagu sedih tentang masa lalu itu. Begitu besar beban yang engkau pikul ternyata, sedangkan aku masih setia pada rasa senang itu untuk beberapa saat. Hati dan pikiranmu terkuras.

Dalam pikiran ini mengatakan bahwa perlakuan mu terhadap ku lepas sebagaimana hatimu bergerak bebas, namun pada saat itu engkau tersadar akan tidak sanggupnya dirimu untuk terlalu jauh berbuat karena berpikir aku akan berharap dengan sangat untuk menjadikan mu milikku. Bukankah hal ini yang mengganggu pikiran mu?

Tak apa, biarkanlah pikiranmu lepas, jangan kau tanggung perasaanku untuk sekarang. Gadis yang baik hatinya juga harus baik kan? Aku yakin hatimu akan menuntun dirimu. Tidak perlu merasa bersalah, sekarang biarkan dirimu berdamai dengan segala macam pemikiran, jikalau engkau ingin memberi batas akan perhatianmu aku akan mengerti itu, namun jika tak bisa kau bendung jangan pernah merasa bersalah terhadap diriku.

Pagi ini dirimu sudah membaik bukan? Janji jari kelingking kita akan selalu aku ingat, karena tujuanku adalah dirimu. Maafkan aku karena telah salah memahami dunia, karena kau adalah duniaku.

Semoga senyum mu tidak pernah pudar, terimakasih gadis baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Celah Dalam Ruang Kesibukan

Keindahan Adalah Dirimu

Tahun Politik yang Menjengkelkan