Menjembatani Pergi
Dua hari telah berlalu tak sempat juga tangan ini menarikan jemarinya dengan lentik di atas papan ketik untuk menorehkan cerita tentangmu, lagi. Bukan aku tak ingin ataupun sudah lelah dengan penantian ini setelah kau berucap tentang ketakutan mu kala itu, akan tetapi hati ini selalu saja menyanggah untuk memberikan luang pada rasa yang tertatih agar segera beristirahat untuk sejenak.
Dirimu yang kalut kala itu seakan meminta pada angan untuk segera melupa tentang apa yang engkau rasakan kepadaku, maaf tak bisa kusembuhkan rasa takut mu saat itu juga, aku tidak mempunyai obat untuk luka batin yang engkau rasakan. Perbincangan yang terasa semu tanpa temu yang dijadwalkan hanya meraba pada setiap liuk jari-jemari yang mengetik, percayalah aku juga takut akan harap yang akan muncul kembali.
Semoga engkau membaca goresan tanganku ini, walaupun tidak lagi aku kirimkan kepada mu lewat surat yang tertuju pada laman pesan ponsel mu, aku tidak tau apakah saat sekarang engkau masih memantau surel pribadiku yang berisi cerita baru tentang keindahan. Sang angin juga tidak lagi aku amanahkan untuk mengetuk jendela kamar mu setiap malam untuk memberikan pesan yang akan terukir dihatimu, aku juga takut jika kau kembali mengingat perasaan itu.
Kita sumbang dalam melodi yang gusar, sepertinya air laut pun tidak lagi semerdu saat kita duduk berdua dalam rangkaian cerita yang begitu dalam. Perasaan ragu dan bimbang menyelimuti setiap jengkal dari tubuhku, dia menghisap segala kesenangan yang ada, hanya renung tertumpah setiap malam kala diri ini duduk diatas tumpukan buku yang ada di dalam kamar ku.
Aku tak tau kapan pertemuan itu tiba, dan aku juga tak bisa merangkai cerita fiksi seperti apakah saat kita bersua dihamparan keasingan nanti. Otak ku tidak sepintar itu, hanya harap yang melayang bersama angan, dia dihantarkan oleh kepulan asap rokok ku yang masih menyala. Maaf, batangan nikotin ini aku hisap lagi.
Aku bukan kecewa terhadap mu, sungguh, aku hanya menyesali diriku sekarang. Begitu rumit perasaan ini terangkai dalam menganyam beberapa helai kasih kepadaku, namun anyaman itu belum bisa selesai. Aku tertegun memegang pena untuk mengukir rangkaian cerita itu kembali, namun sayangnya aku gagal, lagi.
Rumah ku belum terbangun, sedangkan rumah mu sudah begitu lama lusuh. Kita masih belum bisa didekap oleh kehangatan yang meraup beberapa intisari kenyamanan fana yang kita rasakan, rasa ini menderu untuk bisa menjadi anyaman yang bagus agar tidur malam mu bisa selalu nyenyak, namun siapa sangka aku semakin menambah kedinginan yang menerpa tubuh mu, engkau berujar tentang rasa takut yang menjelma dari perasaan suka yang aku timbulkan, maaf.
Beberapa kata yang tertulis kali ini adalah pesan yang menjadi harapan, karena aku tak ingin menambah beban yang ada di pundakmu, bukankah kau terlalu lama tersiksa akan hal itu? Kita biarlah seperti ini, jika kau beranggapan kalau perlakuan ini adalah rasa acuh mungkin engkau salah memahaminya. Tak pernah sekalipun mata ini menggerakkan hati saat menjumpai manusia yang lain. Hanya padamu, aku berjanji.
Biarlah aku mengais untuk menanam pohon kehidupan itu untuk mu, akan kusiram dia dengan berbagai cerita indah yang melukiskan bagaimana menakjubkannya dirimu, pohon itu akan selalu aku pupuk dengan kesiapan disaat engkau membutuhkan ku, akan tetapi aku tidak tau kapan itu akan terjadi. Buahnya pasti akan kumakan dengan lahapnya tanpa peduli pahit atau manis, beracun atau tidak, karena bagiku hal seperti inilah yang harus kutanggung.
Minggu depan kita sudah tidak lagi berada di kota yang sama, sesuai janjiku pada tulisan sebelumnya, aku akan pergi mencari penawar rasa takut mu. Aku tidak tau akan kembali kapan, pulang ku sudah terlalu samar di kota ini karena tujuan ku belum tercapai.
Buku yang kau genggam erat waktu itu masih jadi alasan kuat untuk diriku berharap agar setiap detik yang telah berjalan ada tercipta celah untuk temu itu hinggap, di dedaunan kering yang diputar oleh waktu, bukankah ada masanya dia untuk jatuh dan terganti? Aku hanya menant celah itu sekarang, sehingga ada ruang saat rasa takut mu itu telah gugur maka diri yang hancur lebur karena perjalanan yang jauh ini akan mendekat.
Masih bukan tentang memiliki mu seutuhnya, aku hanya akan menanyakan kesiapan dirimu lagi, apakah perasaan itu masih kau genggam seperti menggenggam buku ku kala itu, atau sudah tidak lagi ada cerita yang kau simpan tentang kita dan musnahnya perasaan mu tentang ku seperti engkau yang sudah membaca lembaran terakhir buku itu? Hanya engkau yang bisa menjawabnya.
Sungguh, aku tidak peduli bagian tubuh yang mana tersakiti, bajuku yang mana ternodai, berat yang seperti apa aku tanggung, serta rasa buruk apa yang akan ku makan. Akan tetapi jikalau engkau masih memangku hasrat dan perasaan tentangku maka ketidakberdayaan ini akan menjemput mu, percayalah.
Aku tidak ingin kehilangan dunia lagi.
Komentar
Posting Komentar