Mengais Khayal
Aku tak tau bagaimana dirimu hidup selama ini, dan aku juga tak tau penderitaan macam apa yang telah kau lalui nona. Rapuhnya perasaan mu itu membuktikan betapa sulitnya roda kehidupan mu itu berjalan, sehingga rasa senang pun tidak bisa betah di dalamnya.
Senyum yang merekah bagaikan bunga matahari itu selalu saja bersinar untuk dunia, kau indah mengenakannya, jujur aku menyukai itu. Melihat lekukan dari mulut mu yang manis adalah terapi terbaik untuk kehidupan banyak orang. Selalu saja senyuman itu diiringi dengan tingkah laku yang ceria dan perasaan yang menyenangkan. Namun, disaat engkau memberikan rasa senang itu untuk semesta, siapakah yang bisa memberikan dirimu kesenangan?
Memang, engkau telah bercerita kepadaku sedikit tentang kehidupan mu. Kita selalu saja serius membicarakan itu bukan? Semoga masih engkau ingat bagaimana caranya cerita itu terangkai untukku. Suara kita merendah mengisyaratkan tidak bolehnya ada siapapun yang tau akan kisah mu, aku menghargai itu.
Di bawah atap bangunan kampus, ditepi lapangan olahraga yang baru saja akan dibersihkan, di dalam rumah tempat kita mengerjakan tugas kuliah, di depan laptop pada saat engkau membantu aku mengetik isi proposal pendidikan ku, di atas motor saat kita pergi ke suatu tempat, serta ditepi kolam renang. Mungkin tempat inilah yang aku ingat saat dirimu bercerita tentang kehidupan kepadaku, aku rasa masih ada beberapa tempat dimana karangan cerita itu engkau sampaikan kepadaku.
Namun, sama sekali tak aku sadari bahwa perjalan hidup mu lebih dari itu, sehingga kesenangan yang engkau terima dariku membuat rasa takut yang ada dalam pikiran dan hidup mu kembali teringat. Sungguh, aku merasa bersalah karena memberikan rasa nyaman itu kepada mu, tak aku sadari hati ini terlalu lancang menebar benih kenyamanan. Padahal diri ini masih rapuh untuk bisa merangkul semua rasa takut mu. Maaf.
Mari jalani ini sebagaimana yang engkau inginkan, jika kau tak ingin luka itu untuk disentuh oleh tubuh yang kumuh ini aku akan menerimanya, bohong jika aku tidak ingin menyembuhkan segala kepedihan itu. Angan ini akan aku tahan sebentar prosesnya sebelum diwujudkan dalam kenyataan, kalaupun memang tidak bisa mungkin segala harapan ini bisa untuk putus sejenak.
Bukan berarti aku tak menginginkan dirimu lagi, aku tak sanggup untuk kehilangan dunia lagi dalam hidupku. Sudah lama diri ini mengembara dalam liang yang gelap, selalu saja aku dapati kebosanan yang diantarkan oleh rasa hampa pada tubuhku, sungguh aku juga takut akan itu. Memang dahulu sudah aku temui cahaya dunia itu pada orang lain, namun percayalah sekarang aku menjadikan dirimu tujuan yang mutlak dalam hidupku, maaf jika lancang akan tetapi memang benar seperti itu yang dikatakan oleh hatiku.
Kita juga sudah berterus terang tentang ini bukan? Dan inilah yang membuat dirimu takut akan masa depan dari perasaan mu sekarang? Tenang, aku tak akan berdebat tentang keputusan mu, karena rasa kehilangan itu juga pernah menimpa tubuhku yang rapuh, kala itu.
Akan ku simpan tulisan tentang kesedihan ini sendiri, akan ku hadiahkan hati mu yang takut itu dengan beragam cerita yang menyenangkan. Rasa takut mu mungkin akan sedikit melunak membaca gambaran tentang dirimu yang indah bukan? Semoga saja hati mu tidak terlalu marah jika membaca bagaimana aku mengisahkan kehidupan mu yang aku lihat dengan mata ku, mata yang menangkap keindahan sang bidadari.
Sekali lagi, jangan merasa bersalah untuk ku. Aku adalah manusia yang harus dihukum, diri ini terlalu senang akan hadirnya dirimu, kita yang sudah sama-sama tau tidak akan bisa bersama untuk sekarang namun aku sudah terlalu cepat menanam benih harapan yang akan tumbuh dengan lama. Bahkan aku tak tau kapan buah dari biji harapan itu bisa dipetik.
Sekarang aku sudah mengerti bagaimana rasa takut mu bekerja. Pada angin sore ini yang berjalan membawa keindahan langit senja aku titipkan sebuah pesan singkat, aku tidak akan pernah tau apakah bunyi pesan yang aku ketik dalam layar laptop ini akan tersampaikan atau tidak.
Berbahagialah, buang rasa takut mu, aku akan kembali berjalan untuk menemukan cara melunakkan rasa takut itu, pada saat itu tiba akan aku sampaikan lagi perasaan ini kepada mu, tentu saja dengan menampung segala cemas dan takut yang masih menjadi bayangan kejam dalam hidup mu. Aku menyukai mu.
Diri ini akan tetap menanyakan kabar mu, bagaimana hari mu, membuat lelucon aneh yang hanya bisa kita nikmati berdua, mengajak dirimu ke toko buku untuk beberapa saat, diskusi kita tentang buku yang dirimu sukai, serta menjadi teman setia mu jikalau tidak sengaja hasrat mu ingin berbagi kepadaku. Biarlah diri ini yang akan mencari cara untuk menuntun rasa takut mu kepada cahaya pembersihan, sehingga rasa suka yang engkau sampaikan kepadaku tidak lagi punya belenggu.
Maaf aku tidak bisa meninggalkan dirimu seutuhnya sekarang, aku tidak ingin lagi kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup ini, sebelum dirimu sembuh seutuhnya dari rasa takut, tak ingin hatiku tercabik lagi karena kehampaan yang dibawa oleh perasaan kehilangan. Namun, jika dirimu memang sudah menemukan penawar rasa takut itu sendiri maka aku akan senang, baik itu berwujud seseorang yang lebih mumpuni dari ku dan bisa memberikan rasa kasih yang teramat padamu daripada yang aku berikan, maka aku akan senang hati menerimanya.
Untuk sekarang aku akan mencari penawar untuk rasa takut mu itu, makanya aku akan berjalan. Sekali lagi kehampaan itu akan aku masuki, namun pada saat sekarang aku akan masuk dengan sendirinya, biarlah rasa sakit yang dia bawa aku susuri sehingga rasa suka itu bebas dari takut yang terjadi dalam hidup mu.
Terimakasih telah hidup, terimakasih telah bertahan, dan terimakasih telah memberikan diri yang rapuh ini kehidupan. Sekali lagi maaf jika aku bangkitkan rasa takut mu.
Mekar kan selalu senyum itu pada wajah mu. Diri ini akan menuju temaram agar bisa mendapatkan renjana itu kembali, mengarungi nabastala yang perlahan pudar memang harus kulakukan.
Kita masih berteman bukan? Aku juga tidak ingin kehilangan, lagi. Seperti dirimu.
Komentar
Posting Komentar