Izinkan Aku Mengenang
Siang ini tak begitu mentereng, panasnya tidak terlalu menyengat kulit ku seperti hari biasanya, aku berdiri diatas hamparan pasir pantai yang begitu lembut, diri ini mengingat masa saat obrolan kita terjadi satu bulan yang lalu. Angin laut itu menyapa diri ini membangkitkan segala ingatan indah tentang mu, termasuk memori kita saat di pantai.
Kala itu aku melihat mu yang sedang terpana pada keindahan senja, engkau duduk merenung disaat dunia sedang sibuk-sibuknya dengan kebisingan, engkau terduduk diam tanpa terganggu sedikt pun, dimanakah letak rasa kesal mu nona? Aku menghampiri diri yag sudah mematung itu dalam lamunannya. Maaf, aku mengagetkanmu.
Kita berbicara riang kala itu, suara kita yang merendah seakan tidak ingin dunia mengetahui kilas balik dari cerita kita. Senyummu merekah dihiasi dengan warna jingga yang begitu menawan, aku berpikir bahwa keajaiban dunia ada pada dirimu.
Sungguh,aku ingin melihat dirimu lagi. Tidak ada lagi senyum yang indah itu tertangkap oleh mata ku, yang bisa kulakukan hanya sekedar memandang rupa mu yang sudah tercetak dalam layar handphone ku. Diri ini sudah menjelma bagaikan kelelawar, siang sudah tidak terlalu baik bagiku, engkau yang sedang membeku dengan rasa takut mu sedangkan aku sibuk mencari jalan keluar untuk rasa takut itu pergi.
Hanya malam yang bisa membuatku tenang, terpaan angin yang begitu dingin masuk melalui celah pikiran ku, otak ini memproduksi kembali ingatan tentang bagaimana indahnya cerita yang kita sampaikan, bahkan dunia iri akan pemandangan itu sampai-sampai kita dibuat terlena dalam arus waktu yang terasa begitu cepat.
Obrolan yang terjadi berjam-jam itu hanya terasa seperti kilatan cahaya bagi kita, deburan ombak yang menghantam pasir dipermukaan pantai sudah seperti melodi indah untuk megiringi berbagai latar belakang dari cerita tersebut. Sungguh tak bisa aku bayangkan jika kembali kudatangi arus ombak yang ganas itu tanpa adanya engkau, namun sekarang aku melakukannya.
Pagi itu memaksa diri ini terbangun dalam lelap, aku yang masih pulas mencari dirimu dalam mimpi masih belum juga menemui akhir namun mentari sudah membakar habis tubuh ini dengan cahayanya. Tak ada kelembutan saat cahaya itu membelai diriku, sungguh sangat berbeda dengan cahaya yang engkau pancarkan, bagaimana sinar yang begitu hangat itu mendekap tubuh ini masih menjadi sesuatu yang paling aku rindukan sekarang.
Perlahan panas itu beranjak pergi, namun ingatan tentang mu masih lekat dalam kepalaku, sungguh saat ini tak bisa kubendung setiap ingatan yang tertuju pada mu. Aku kembali berpikir tentang laut dan ombak, betapa indahnya pemandangan itu menghiasi tubuh mu.
Diri ini memutuskan untuk kembali lagi melihat pantai dengan indahnya melodi yang dihantarkan sang ombak, sungguh tenang suasana kala itu mengringi setiap bait yag keluar dari mulut mu. Bibir itu bagaikan tangan sang penyair yang mengeluarkan keindahan puisi yang belum selesai, ingin sekali hati mulut ini mengungkapkan “bisakah aku selesaikan bait puisi yang tertinggal itu untuk mu?”
Semesta tadi menyerah akan panasnya, mungkin diri ini dikasihani karena rapuhnya diri ku menerima segala penderitaan ini, mentari tidak lagi menambah beba pikiranku sekarang. Panas mulai meredup beriring dengan rasa kesal ku yang sudah semakin memuncak melihat keadaan diri dengan ketidaksanggupannya menahan untuk memikirkanmu. Aku memutuskan untuk mendengar deburan ombak yang bising itu kembali.
Pada teduhnya siang ini aku beranjak untuk mencari sunyi dalam bisingnya dunia, semenjak rasa takut mu itu muncul diri ini sudah lama menahan agar keterasinga kita tetap terjaga, bukan karena aku memelihara menginginkannya, sungguh. Aku hanya tidak ingin keterikatan batin ini membbebani hati mu, lagi.
Lebih baik aku mengenang, kejadian yang indah dalam kehidupan ku tentang mu mungkin sudah cukup memakan waktu untuk dikenang, sungguh. Namun, hanya kenangan yang bisa aku nikmati sekarang, bukan lagi hadir mu seperti kejadian dalam kenangan itu. Siang yang teduh seakan memberi ruang akan jalan ku menuju suara yang berdentum itu. Dengan kerasnya hantaman ombak mengembalikan kesadaran. Karena saat aku sampai sungguh lancang hati ku berangan tentang mu.
Kali ini tak lagi aku tangkap kehadiran mu yang sedang terduduk melamun memandang jauh kearah ombak yang deras itu berasal, namun hanya kursi jingga kosong dengan kehampaan yang duduk diatasnya. Kursi itu menanti pemiliknya untuk duduk dan meneduh dibawah rimbunnya pohon kelapa.
Dengan perasaan yang kalut aku duduk dikursi itu, memang seorang bajingan ini sudah terlalu jauh bertindak akan tetapi tidak bisa aku biarkan kursi itu hanya menampung harap dari kehampaan merindukan sang pemiliknya. Engkau dengan anggunnya kala itu terdampar diatas kursi itu sendirian menampung kekesalan yang dirimu pendam, kala itu semuanya tercurah dengan isak yang tertahan karena masih belum bisa kau tampakkan raut wajah mu yang sendu.
Akan tetapi sekarang berbeda, kursi yang penuh kehampaan ini sudah kuserap semua gundahnya, aku terduduk dengan perasaan yang sama dengan yang dirmu miliki waktu itu. Akan tetapi sekarang berbeda, saat itu engkau mash bisa bercurah tentang keadaan namun sekarang aku tidak memiliki itu. Ingin rasanya aku buang segala sesak yang menimpa dikala ribuan suara yang tidak memiliki tuan ini merumuskan kebisingan. Sekarang aku tidak memiliki itu.
Tinggallah aku sendiri menatap jauh sang ombak tanpa adanya rumah untuk berkeluh, silahkan kau bermanja dengan dunia mu, aku harap suatu hari rasa takut itu sirna dengan sendirinya. Aku menantikan itu, walaupun harus ku gandeng hampa ini pada duniaku sendiri.
Komentar
Posting Komentar