Dirimu Adalah Kehidupan
Malam yang dingin memang memiliki suasana yang cocok untuk merenung, tatapan kosong itu selalu saja menabur benih khayalan dengan angan yang tidak tau kapan akan terwujud. Aku ditemani sendiri menciptakan sunyi pada malam ini, tidak ada suara bising yang menyebalkan itu sekarang, tetapi bukankah ini terlalu sunyi? Bahkan suara indah mu tak lagi terbayang dalam lamunanku.
Bukan berarti aku lupa akan merdunya suara itu saat bercerita, akan tetapi tidak pantas rasanya diri ini mendengarkan nyanyian surga itu sekarang walaupun hanya sekedar mengingat kembali tentang bagaimana alur kehidupan itu engkau sampaikan kepadaku. Tapi izinkanlah aku mengingat beberapa kenangan indah yang telah aku simpan pada otak ku tentang mu, sungguh aku hanya ingin mengulang itu untuk sejenak.
Asap rokok ini kembali mengepul, aku lupa sudah berapa batang yang aku hisap saat layar laptop itu aku matikan. Di dalam padatnya asap yang melayang diudara diri ini mengingat bagaimana marahnya dirimu kala itu, engkau yang sedang bertikai dengan manusia lain karena sudah terlalu lama memendam akhirnya tercurah, kala itu pertikaian yang terjadi juga saat malam bukan? Ternyata malam terlalu banyak menyiapkan arena untuk hal-hal buruk.
Aku mengetahui cerita itu pada pagi harinya, tidak biasanya sikap mu yang ceria berubah menjadi murung, sungguh aku begitu cemas akan perubahan sikap mu ini. Engkau bercerita tentang kekesalanmu padaku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menenangkan nada suara yang meninggi itu, akan tetapi aku gagal. Aku bingung tentang bagaimana metode yang harus aku gunakan, entah setan apa yang merasuki ku kala itu saat perlahan ku gosok tanganmu yang bergetar lirih.
Percayalah, setiap waktu mata ini menangkap indah mu selalu saja kulihat bagaimana taman bunga itu bermekaran di kelopak mata mu yang berwarna coklat itu, senyuman mu menghiaskan pelangi yang begitu indahnya, suara mu bagaikan puisi indah bersenandung bagi siapa yang mendengar. Pada saat itu aku baru paham bagaimana semesta bekerja.
Taman bunga yang mekar tak selamanya akan merekah pada musim kemarau dia pasti akan layu dengan sendirinya, pelangi juga tidak akan pernah terbentuk sebelum hujan dingin membasuh bumi dengan ganasnya, begitu pula dengan puisi bukan? Tak selalu sajak yang terdengar sudah selesai, saat itu aku melihat bahwa bibirku bagaikan penggalan puisi yang belum selesai. Aku ini hanya orang biasa, maka dari itu aku belum mengerti bagaimana menangkan bidadari.
Maaf tidak bisa melakukan apa-apa saat itu, aku hanya bisa memberikan pelayanan dari telingaku untuk mendengar segala macam keluh yang engkau tuangkan. Diri ini tak bisa menjelma hujan untuk mengusir kemarau dan membasuh setiap bunga yang layu, aku juga tak bisa menjelma sebagai matahari untuk menyingkirkan hujan agar bisa menimbulkan kembali lekukan pelangi itu diwajahmu, apalagi penyair, diri ini masih tak begitu mahir membuat sajak dalam menyambung keindahan mu.
Maaf, saat itu kubangan ini menyentuh dirimu yang suci itu, ketahuilah diri ini hanya tidak tega melihat engkau meratap, tak ingin aku melihat air mata itu bercucuran dihadapan semesta. Biarlah peluh ku saja yang tertumpah diatas tanah menanggung segala derita yang ada daripada harus kulihat air mata suci itu terbuang sia-sia.
Alangkah baiknya dirimu, tidak ada satupun amarah yang engkau lemparkan padaku saat untaian tangan kumuh ini membelai perlahan dirimu, bukankah aku terlalu lancang untuk berbuat demikian? Akan tetapi tak ada satupun sajak mencerca kebodohan ku kala itu.
Berbahagialah, sungguh aku tak bisa jika engkau meratap kembali dihadapan semesta, dia tak pantas melihat engkau menuangkan rasa sedih pada perjalanan hidupmu yang semakin berat. Aku tau bahwa beban yang engkau pikul bukanlah sesuatu yang ringan, tak bisakah engkau melepasnya untuk sejenak putri? Atau biar aku saja yang menggantikanmu untuk membawanya.
Darimu aku belajar tentang bagaimana kehidupan itu berlangsung, ternyata diriku memang tak pantas untuk menghadirkan taman bunga pada mataku, begitupun lekukan pelangi pada senyum mu, atau merangkai puisi pada suara yang usang ini. Biarlah aku menjadi air yang senantiasa membasuh layu mu, aku juga tidak keberatan untuk menjadi awan hitam untuk memulai pelangi diwajahmu, ataupun biarkan diri ini menjadi kertas yang senantiasa kau gunakan untuk merangkai puisi dari mulutmu.
Engkau adalah keindahan, begitulah adanya. Jangan sampai keindahan itu memudar perlahan hanya karena berbagai macam permasalahan kehidupan, keindahan mu selalu mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain yang mana kebahagiaan itu bisa saja menjadi alasan seseorang untuk hidup.
Apakah engkau ingat tentang tempat bermain mu waktu itu dengan anak-anak? Rindangnya pohon yang ada disekitar menghadirkan hawa yang begitu sejuk bagi anak-anak itu, dirimu juga seperti itu. Tingkah laku yang begitu anggun menghadirkan keindahan yang selalu saja menghantarkan angin lembut bagi setiap kehidupan yang ada.
Ada manusia yang menjadikan hal itu sebagai salah satu alasan kecil untuk hidup, salah satunya aku.
Komentar
Posting Komentar