Surat Seorang Petani


Malam yang begitu dingin, pilu terlalu jahat menghantam setiap gerak-gerik perjalanan dunia ku yang tertapak kemarin, bayang-bayangan dengan rasa yang begitu abstrak terjadi, bertambah lagi beban pemikiran ini dikala ricuhnya otakku oleh cerita gundah yang tersimpan di brankas otakku.

Manusia itu terlalu unik, tatapannya yang layu membuat teduhnya penglihatan rona mataku dalam menangkap gambaran malaikat kecil itu, begitu indahnya ciptaan Tuhan, dan aku beruntung untuk bisa menyimpan gambaran keindahan itu dalam ingatan yang pelupa ini, semoga saja kau tak akan pernah ku lupa.

Aku menerawang tentang ingatan kala itu, dia yang terduduk anggun, dayang-dayang kecil itu senantiasa menemani tawanya yang selalu dijadikan baju penutup keseindahan dalam tubuhnya yang mungil. Kau terlalu lelah bukan? Pekerjaan sebagai tuan putri ternyata terlalu melelahkan bagi tubuh yang tak dapat tempat untuk bercerita.

Semesta terlalu kejam menjalankan garis takdir. dia yang begitu rapuh itu selalu saja menahan arungan tangisnya dalam topeng kebahagiaan yang begitu tebal. Aku memikirkan begitu kuatnya karang dalam hidup mu itu sehingga deburan ombak keras semesta tak pernah menggetarkan topeng dalam ruang lingkup kebahagiaan yang ada dalam hidupmu.

Tuan putri beraroma semerbak itu selalu saja menarik perhatian orang lain, maaf, aku juga masuk dalam salah satunya. Perlakuan yang begitu indah, gerakan tubuhmu selalu saja menjadi pergerakan ayu yang begitu menawan. Mata manusia mana yang tak berpaling dengan dirimu? Namun maaf saja, aku belum bisa jadi pangeran yang bisa menjadi pemenuh suasana dalam kerajaan mu putri.

Pandangan yang begitu naif jika aku berpikir bisa untuk memenuhi tempat itu sekarang, aku hanya memikirkan bagaimana menanam pohon yang begitu indah sebagai tempat bernaung yang teduh untuk dirimu sekarang.

Bibit itu yang sudah tersemai dalam lapangan hatiku selalu saja meminta air yang lebih, perlahan-lahan kecambah pun muncul, dia menjelma menjadi perbuatan yang biasa manusia lain sebut sebagai kepeduliaan. Kepeduliaan yang begitu pekat, aku sedikit buta akan rona itu dalam hidupku, tuan putri yang mendorong rasa kepeduliaan ini menjadi terlalu dalam, kecambah itu akarnya sudah terlalu jauh tertanam.

Dunia ku sudah bergantu seiring berjalannya waktu, kecambah itu sudah menjelma menjadi pohon yang rindang dan teduh, cahaya semesta bahkan tak diizinkan masuk satu senti saja kedalamnya, dunia kunsudah berubah sekarang. Rimbunan itu belum sempurna, aku masih saja belum bisa mengundang sang putri masuk ke dalamnya, aku terlalu takut.

Sang rakyat jelata ini sudah bertani dengan susahnya, namun, perasaan akan ketidaksempurnaan selalu saja menghantui cerita indah yang tersusun dalam scenario otak ku untuk menjemput sang putri, ada sedikit keraguan terasa sekarang. Dunia ini terlalu rumit bukan?
Aku terpaksa kembali berkelana sekarang, dalam senyuman tuan putri itu aku tersesat, masalah yang selalu merupa sebagai rimbunan hutan itu selalu saja membuat hati ku ingin merambahnya, aku harap dalam luasnya masalah mu ada kolam bagi dirimu untuk bercurah.

Perjalanan menyusuri hutan ini sudah terlalu lama kulalui, aku lupa akan pohon yang sudah lama tak aku huni, tempat berteduh itu telah usang sekarang, kepeduliaan ku sudah semakin jauh sekarang, aku melupakan cita-cita dari tumbuhnya pohon itu, mungkin ceritanya tak lagi menarik, nafas hidupnya semakin menipis sekarang.

Aku yang begitu bodoh terlalu terpaku pada urusan pencarian masalah yang ada dalam hutan ingatan sang putri sehingga tak lagi ingat diri ini akan cerita indah yang berdebu dan masih tersusun rapi dalam belantika kenyamanan otak ku. Aku sudah terlalu jauh.

Rasanya baru kemarin aku memutuskan untuk keluar dari dilema tentang kedatangan tuan putri dalam rindangnya pohon ini, tempat dia untuk berteduh semakin terbengkalai, begitupun dengan diriku sekarang. Sulit rasanya diri ini menentukan pilihan, tuan putri itu selalu saja menantiku, maaf jika aku salah mungkin memang sudah sepantasnya diri ini untuk dihukum.

Aku sekali lagi minta maaf, impian tentang pohon itu sudah jauh dari mimpi yang aku anggap begitu sempurna, aku tersadar, ternyata jarak yang telah membentang sudah tak lagi dekat. Pada malam ini hatiku sepertinya sudah begitu muak akan pilihan egois ku, akhirnya dia memberontak, maaf tuan putri aku terlalu lama, semoga dalam ketidaktahuan yang engkau miliki hati mu masih menunggu seorang petani ini.

Perbuatan yang begitu aku benci yaitu mengulang pekerjaan beratku, sekarang menjadi jalan keluar yang menciptakan solusi bagi diri ini. Kembali aku tanami benih itu sekarang, lama mungkin untuk benih yang sama agar tumbuh kembali, namun tak apa, tubuhku sudah siap untuk bekerja lebih keras, begitu pula hati dan pikiranku sekarang, tak kusangka ternyata dua keberadaan yang selalu bertolak belakang ini bisa juga dalam bekerja sama.

Benar adanya, benih yang aku semai sampai saat ini belum juga berkecambah, air yang sudah aku siapkan ternyata masih begitu banyak yang kurang untuk membuat ujung daun itu muncul. Keraguan selalu saja melanda, perasaan ini menjadi penghambat utama bagi benih ku tumbuh.

Malam selalu saja ikut serta dalam merangkai perasaan bagi hati ini, namun aku percaya, hati ku tak selemah itu untuk menyerah pada semesta. Penantian panjang itu akhirnya merekah sekarang, daun harapan itu muncul dari lembabnya tanah yang aku sebut sebagai kegelisahan, hatiku yang diterjang badai kala itu sekarang sudah mengakar yang ditumbuhkan oleh keyakinan.

Perlahan-lahan pohon itu sudah bertumbuh dengan indahnya, kurasa dengan kegigihan dirinyalah yang membuat setiap bagian tubuhnya begitu kokoh. Pohon yang kecil itu kembali mengingatkan diri ini dengan tuan putri yang anggun itu, aku masih menyimpan perasaan yang begitu besarnya.

Kehidupan yang selalu menerka ini akhirnya punya tujuan pasti, aku mengharapkan kehadiran semu itu untuk menoleh sebentar saja dalam hidupku.

Lagi dan lagi malam selalu senantiasa menemani rapuhnya diri ini, cerita tentang pohon itu aku tuliskan bait demi bait dalam pikiran ku, otak ini seakan-akan menjelma sebagai ruangan yang begitu besar dalam menyimpan cerita tentang tumbuhnya pohon impian itu. Wahai sang putri, aku harap dirimu yang anggun itu bisa membaca dan mendengar keluh kesah tak berguna diriku sekarang, semoga saja kehadiran mu berada dalam rindangnya pohon yang telah kutanam, aku janji akan menceritakan kisah ini dalam hangatnya dekapanku yang rimbun.
 
Terimakasih diri, kau sudah menanam keindahan dan harapan yang hangat bagi tuan putri, dan semoga sang putri juga bisa segera untuk merasakannya. Dari aku sang petani kumuh dalam cerita mu yang indah, semoga masalah mu cepat tercurah. Menangislah putri aku tau kau sudah tak bisa lagi menahannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Celah Dalam Ruang Kesibukan

Keindahan Adalah Dirimu

Tahun Politik yang Menjengkelkan