Pagi yang Sedang Bertamu
Kilauan sang mentari yang baru bangkit dari peristirahatannya membuat diri ini juga terbangun pada mimpi indah malam tadi, mentari tidak ingin bangun sendiri dia sudah lama kesepian begitupun denganku. Diri ini menyentuh angka yang sudah tak lagi muda, pemikiran seperti benang kusut selalu saja menjadi tugas untuk diluruskan, nyatanya dunia tidak semudah itu untuk diterka, karena mengurai benang ini adalah tugas yang tidak akan pernah selesai.
Beberapa hari ini berbeda, tatkala aku sudah menemui tujuan dalam hidupku. Jujur, selama ini aku tak memahami sama sekali apa yang orang maksud dengan tujuan hidup, aneh memang. Panas siang yang terik bertepatan dibawah tatapan tak buku yang penuh menjadi saksi bagi pria ini untuk menetapkan hatinya.
Selalu saja terlukis indah, kata-kata ini terangkai tanpa sebab, tak ada kata bosan jikalau aku sedang melukiskan dirimu, hari yang begitu riang namun penuh kebimbangan disetiap waktunya. Arah jalan esok hari memang masih menjadi rahasia, namun tidak ada salahnya bukan aku mencoba menjadikan mu sebagai tujuan dari jalan yang aku tapaki?
Rasa yang tersimpan masih sama, aku merindukanmu. Senyum yang terukir dari wajah kecil itu membuat hati ini sedikit menderita dalam lamunannya, ingin sekali aku meminta salah satu arsip wajahmu yang tersimpan dalam ponsel yang selalu kau pegang itu, namun apa daya? Kita masih belum bisa bersama.
Aku kesal dengan keadaan yang terjadi, ingin sekali rasanya aku cumbu waktu untuk bisa mempertemukan kita dalam ruangan sunyi di semesta yang bising ini, namun memang belum saatnya kita untuk bertemu. Sejarah hidup yang kita alami menjadikan rasa memiliki ini agar ditekan terlebih dahulu karena memang kita masih belum terikat. Dirimu dengan permasalahan keluarga serta pahitnya hubungan yang kau alami dahulu menjadikan kisah pahit sebagai belenggu hatimu untuk kuraih, akan tetapi itu juga tidak hanya terjadi padamu.
Aku juga memiliki alasan tersendiri, sehingga diri ini takut untuk menjadikan bidadari ini milikku seutuhnya. Rasa takut akan kegagalan dalam membahagiakanmu serta rasa kekurangan yang ada dalam diriku membuat harapan itu aku sembunyikan dahulu.
Kita adalah insan yang diselimuti rasa trauma dan keraguan, namun hatiku tak pernah sekalipun ikut terombang-ambing jika sudah berbicara tentangmu. Memang, kapal kita belum berlayar, akan tetapi apa yang aku katakan sekarang dalam banyaknya ragam tulisan yang aku buat itu adalah segala apapun yang aku rasakan.
Aku tak ingin adanya kebohongan yang manis di dalam kapal ini, percayalah.
Harap yang selalu saja menghantui bahwa engkau juga memikirkan diriku disana, semoga gelang yang telah kau pasangkan pada lengan kirimu itu menjadi pengingat tentang ku dimanapun engkau berada. Bolehkah kita berbicara lagi? Aku masih belum sanggup menelepon mu sekarang, masih ada rasa keraguan dalam hatiku untuk menelepon dirimu secara mendadak.
Tubuh ini kaku menanggung bimbang, wajahmu yang menjelma sebagai canvas untuk mengukir senyum indah itu selalu aku cintai. Sebagaimana layaknya lautan dengan deburan ombak yang menyejukkan, begitulah dirimu dimataku.
Sial, ternyata aku mendapatkan musibah, begitu besarnya musibah itu melanda. Aku mencintaimu.
Musibah ini sudah seperti penyakit yang menyerang arah langkah kehidupan, menusuk hati, serta mempengaruhi perasaanku. Namun, aku tak ingin disembuhkan. Tidak ada obat penawar yang aku dapatkan, kalaupun ada aku tidak ingin meneguknya, biarlah penyakit ini mengeranyangi tubuhku, karena jatuh cinta padamu adalah keindahan.
Aku sudah lama mengembara, jalan demi jalan telah aku susuri, lautan yang begitu luas sudah aku tanamkan telapak tanganku pada air asin itu, telah aku jumpai banyak orang dari berbagai daerah, dan telah banyak cerita yang aku simpan dalam palung ingatanku.
Akan tetapi aku memilih jalan yang mana ada engkau diijungnya, aku tenggelam dalam tatapan matamu, tidak pernah aku jumpai orang yang menerima diriku dengan penuh kasih, serta cerita indah yang selalu dikerjakan oleh jari jemari ku. Aku menemukan tujuan hidupku.
Maaf aku pernah ragu kala itu, dan juga maaf jika rasa ini pernah abai kepadamu untuk beberapa saat. Terimakasih telah menyadarkan diri ini tentang bagaimana berharganya dirimu, setiap kata yang kau lontarkan waktu itu selalu saja menjadi buah pikiran dalam otak ini, maaf aku tak bisa menghentikan otak ku untuk menjadikan mu sebagai lukisan yang selalu dia amati.
Izinkanlah diri ini bertanya, pada sang angin aku titipkan pesan yang singkat, semoga dia amanah menyampaikannya kepadamu. Aku yang berada di bawah teriknya sang mentari pagi memutuskan sesuatu yang begitu penting bagi diriku, bersediakah engkau menunggu tiga tahun lagi? Aku menginginkan dirimu sekarang namun tak bisa aku miliki dirimu sepenuhnya, aku berjanji dalam tiga tahun akan kutapaki kaki ini dan mengambil mu dari rumah itu.
Waktu tiga tahun tidak terlalu lama bukan? Perjalanan ini akan segera aku selesaikan, semoga engkau masih tetap setia menunggu diujung sana untuk menggenggam kerutan lusuh yang berdebu ini.
Aku serius.
Komentar
Posting Komentar