Nyanyian Angin Kepada Kelapa
Langkah kaki yang tertatih membuat hentakan itu terasa sunyi, menakar ketidakberdayaan diri yang sudah mencapai ranah paling rendah, sungguh tak menyenangkan jikalau belum punya pengalaman dalam bidang pekerjaan menyayangi keindahan semesta. Tanya dalam otak selalu saja melayang “apakah diri ini pantas menemanimu?” Ujarnya tak pernah basi menghidangkan pertanyaan yang tidak akan pernah bisa aku jawab itu.
Diri ini terlalu berani mencintai kenyamanan itu, bagaikan hembusan sang angin pada rindangnya pohon kelapa yang sedang berbuah indah, lekukan yang ramping dari batang itu menandakan betapa nyamannya belaian angin lembut, bahkan aku lupa siapa diriku sebenarnya.
Aku bimbang, apakah rasa ini nyata? Apa yang aku rasakan? Kenapa aku harus bermurung disaat ada manusia lain yang mendekatimu? Mengapa aku bercurah pada semesta setiap kali aku menginginkanmu? Siapa diriku? Lagi dan lagi tentang pertanyaan yang tak kunjung kutemui jawabannya. Pertanyaan ini menimbulkan nestapa padaku, setiap kali melihat wajah itu tersenyum selalu saja menerka jawaban yang indah, namun aku tidak yakin akan hal itu.
Banyaknya kilauan yang menginginkan mu, mereka terlalu bersinar disekeliling tubuhnya yang indah, aku juga menginginkanmu, namun aku tidaklah berkilau. Mereka bercerita kepadaku tentang bagaimana dirimu, buku apa yang kau sukai, lagi yang sering kau putar, bahkan cerita keluargamu yang sangat sedikit aku ketahui disela obrolan ringan kita.
Jujur, melihat itu aku merasa tak pantas bersanding dengan dirimu yang seperti kilauan mentari itu, aku hanyalah gelap malam tanpa bintang dikala mendung melanda. Biarlah aku menjarak beberapa jengkal dari kehidupannya yang mentereng itu nyonya, aku tak mau merusak rona itu dalam hidupmu, setidaknya selama kita disini.
Haa aku merindukannya, pertama kali senyuman itu melekuk indah di wajahmu, jarak yang hanya tertinggal beberapa senti tak kita hiraukan, terdiam badanku, mengejang semua sukma ini, aku membeku. Tatapan selembut awan dengan senyuman yang merekah dikala kompor dapur masih menyala dengan panasnya, aktivitas memasak yang terhenti beberapa detik itu menjadikan detak jantung ini mematung sekejap.
Dapur yang sungguh berjasa sebagai ruangan pembuat memori indah dalam otakku. Namun, itu hanya sebentar karena beberapa kejadian. Aku tau dirimu itu sempurna adanya, maka tak heran banyak yang menginginkan dirimu, tentu saja orang itu lebih baik dariku. Senja yang memudar, gelap yang perlahan mengekang sang mentari untuk turun sejenak, malam itu terasa begitu dingin. Kota ini tidak seperti biasanya.
Aku rangkum lagi beberapa nama yang menginginkan dirimu nyonya, terbentuk senyum memaksa dari wajahku penanda kepasrahan yang tidak rila aku perlihatkan pada orang lain. Jujur hatiku memberontak kala itu. Ocehan burung pada malam hari seakan-akan bergunjing menceritakan betapa menyedihkannya diri ini, mereka larut melihat kemalangan yang menimpa manusia yang ada di dalam kamar kecil itu, berdiam diri merayakan kegundahannya. Bukankah hanya seorang bajingan yang selalu seperti itu?
Aku terpaksa melepas angan, tak ku lanjutkan perlombaan dalam mengejarmu, namun diri ini berjanji bahwa aku juga berusaha mengerti dirimu, sebagai mana air yang aku berikan di dalam gelas mu saat kau bingung mencarinya. Perlahan mundur dengan segala keberatan hati, ternyata melepaskan sesuatu itu tidaklah mudah, sepertinya tanganku sudah terbiasa merasakan sakit dalam berupaya menggenggam kepercayaan diri pada saat orang lain menginginkan dirimu untuk dia cintai.
Maaf nyonya, aku bukan tak peduli, namun aku rasa dirimu berhak mendapatkan kemapanan dan kebahagiaan yang lebih besar dari orang lain. Aku hanya masih berada pada jalan usaha, lari yang lambat tanpa adanya alas kaki yang bisa menopangku membuat langkah ini terasa begitu lama, bukankah lebih baik jikalau memang ada yang bisa mencapaimu lebih dulu daripada aku? Bodohnya aku kala itu berharap engkaulah yang akan menghampiri diri ini, dasar pemikiran sialan, sungguh mudah kau memberikan kisah yang menyenangkan pada tubuhku yang kumuh.
Aku tak tau kebenaran apakah yang melanda diriku kala itu, kita di kediaman masing-masing, ada suatu kehadiran yang tidak disangka memberikan informasi aneh dengan tingkat kesulitan yang begitu sukar untuk dicerna, kita sama-sama berlari.
Kau yang kesal akan candaan ku disaat diri ini perlu tameng dari serangan yang diberikan oleh beberapa manusia yang aku sebut teman kala itu, jujur aku tak ingin diri ini kalah dalam kegiatan bersuka ria, selalu saja aku menyombongkan keberadaan yang tak aku miliki itu, padahal sebenarnya itu hanyalah caraku menghindarkan diri ini dari amukan gurauan orang lain.
Aku tak berani menyebut diriku sebagai tameng ku, karena kau terlalu banyak disukai oleh orang yang berada pada kumpulan itu. Maafkan diri ini yang tidak pernah peka akan hadirnya rasa pedulimu padaku. Malam itu aku terkejut membaca pesan dari salah satu teman.
Jika kau membaca tulisan ini, aku meminta maaf dari sanubariku yang paling luhur, nyonya, aku juga menginginkanmu, maafkan jika diri ini menimbulkan kekesalan pada cahaya mentari yang ada dalam dirimu. Maaf jika permintaan ini sulit kau cerna, mungkin kita adalah kata dalam kalimat yang acak.
Jikalau memang apa yang diberitakan itu benar adanya, izinkanlah diri ini menuangkan kenyataan yang disimpan kepadamu, orang lain itu hanyalah bagian dari salah satu keluarga dalam hidupku, ternyata aku dan dia bukanlah kesatuan yang utuh. Penganggapan itu terlontar dari mulut dan hatinya langsung kepadaku.
Jadi nyonya, apakah kau mau memeluk angan pada tubuh yang kumuh ini? Maaf, besok akan aku jelaskan lagi biar engkau mengerti.
Komentar
Posting Komentar