Disamping Tumpukan Buku

Malam dan siang yang selalu memberi tanya pada diri ini, dilanda kebingungan dan kecemasan adalah penyakit paling menyiksa diriku akhir-akhir ini. Kabar yang tak pasti selalu saja berdatangan memberi sedikit goresan pada harapan yang pupus tatkala diri ini gundah membendung derasnya deru keinginan.

Ingin sekali bibir yang lapuk ini berujar tentang perasaanku padamu, tatkala biasan mentari itu begitu bersinar menerangi gelapnya jembatan kehidupanku. Aku hanya pasrah menitih seutas tali harapan dimana cerita romansa itu selalu berkelahi membuat alur indah dalam kepalaku, aku harap ini tak hanya sebatas angan.

Melebur diri ini dalam kepanikan, aku berjanji menemuimu dikediaman mu sendiri. Kita berencana melihat tumpukan buku yang berjejer dalam lemari seorang penjual pada lantai dua sebuah pasar yang tak begitu ramai, aku tak mengerti kenapa hari ini pengunjung di pasar terlalu sedikit, mungkin semesta mengerti bahwa obrolanku terlalu berbahaya diketahui semua manusia.

Kami mendaki tangga yang lumayan kokoh walaupun bangunan itu tidak pernah di renovasi beberapa tahun, pilarnya yang kuat menenteng keamanan bagi siapa saja yang menaikinya, namun tak sama seperti diriku. Perasaan yang cemas masih berkecamuk, dia terlalu berlebihan sekarang, hati ku meronta-ronta untuk menyampaikan perasaan ini, namun entah kenapa bibirku masih enggan mengucapkannya.

Di depan lemari sang penjual buku terpampang banyak sekali bahan bacaan yang menarik, kami bersolek ria menatap lembaran kertas itu berjejer dengan rapinya, dan tak sadar mata ini sudah tak lagi tertuju pada lembaran-lembaran itu. Ada yang lebih menarik perhatian mata ini, secara tidak sengaja dia menetap pada kenyamanan pemandangan keindahan dunia yang ada dihadapannya, begitu indah dirimu merunduk dan membaca helai demi helai tulisan yang rumit itu.
Bibirku masih saja beku, perasaan ini selalu saja mengintai celah yang diberikan oleh bibirku agar dia mampu untuk berucap, dalam pemikiran yang rumit diselingi pembicaraan kaku dari si penjaga toko buku ini membuat diriku hanyut menatap wajahnya “Tuhan, apakah ini tempat pulang yang selama ini aku cari?” lagi dan lagi sang hati menggantikan peran mulut dalam berbicara, naif jika aku menganggap dia akan mendengar itu.
Detak jam semakin lama semakin mengeras, kesunyian disamping toko buku itu membuat celah bagi mulutku untuk berbicara, akhirnya pertarungan yang sebenarnya dimulai. Semoga saja kita sama-sama menang dalam laga perasaan ini.

Kata maaf yang terlontar pertama kali oleh ku, aku tak tau kalimat apa yang lebih baik daripada ini, diriku hanya ingin tau bagaimana perasaannya kepadaku. Semoga saja kisah yang telah diramu otak ini bisa berbalas. Aku menceritakan bagaimana kejadian yang sebenarnya, bagaimana aku merasakan kehangatan dalam hidup saat mata ini menangkap rupanya. Hati ku tak bisa berbohong tentang bekunya diri ini saat melihat senyumnya, padahal kami masih berada didekat kompor panas yang masih menyala.

Informasi yang simpang siur beberapa hari ini aku terima, hal ini menjadi buah pemikiran yang ranum pada masa pertumbuhan cerita indah yang aku karang saat berbicara dengan mu nanti. Kita berterus terang.

Hari-hari yang tidak jelas arahnya, sedangkan perasaan ini selalu saja meronta untuk ditumpahkan kepadamu, jujur aku sudah menyerah. Dalam pikiran ini hanya terdapat pemikiran yang buruk tentang penolakan apa saja yang aku terima saat kita bercerita tentang kehidupan beberapa waktu yang lalu.
Terlalu banyak kata maaf yang terucap kala itu, namun kejujuran hati yang menitipkan kata selalu saja tertumpah, bahwa “aku menyukaimu” maaf kalau lancang, hatiku tidak bisa lagi ditahan. Dia lepas dari sarangnya, perasaan ini tercurah sebagai mana kepasrahan diriku akan jawabanmu, namun gelak tawamu memberi harap kala itu.

Cerita ini usai, tak ada lagi skenario yang dirancang oleh otakku, hanya pembicaraan selama kurang lebih satu jam itulah kebenaran ini terungkai dengan buruknya. Dirimu masih saja tertawa, ingin sekali tawa itu aku dengar setiap waktu, cahaya yang tersebar bagaikan keindahan yang sejati, mentari ini membangkitkan lagi bunga yang telah layu.

Penasaran yang diiringi rasa takut menjalar di sekujur tubuh, hawa dingin yang begitu melekat padaku berlangsung terlalu lama, terlontar tanya yang sangat sukar aku membayangkannya menjadi kesamaan dengan pemikiran ku “kalau kamu apakah ada rasa yang sama?” haa tolong aku, biarkan nafas ini mengalir dengan semestinya, terlalu banyak beban yang keluar hanya untuk mengucapkan beberapa kata itu.

“ada” jawaban singkat yang membuat tubuh ini diam, nafasku seakan berhenti, denyut nadi yang tak beraturan, darah dalam tubuhku seperti memenuhi segala isi kepala. Ada apa dengan semesta hari ini? Kita mempunyai perasaan yang sama selama ini? Tolong, aku terlalu bahagia, tak bisa ku hentikan senyuman ini melekuk diwajahku.

Disamping tumpukan buku, dihadapkan langsung oleh sudut ruangan toko yang begitu sesak, keadaan yang sunyi ini membuat meriahnya setiap tindakan yang aku lakukan. Sekali lagi maaf, aku tak bisa menyadari perasaanmu lebih cepat. Menanggung semua ini memang tak mudah, jika kau merasa kalau aku selalu saja membodohi diriku dan menyengsarakan perasaan ini, sekali lagi aku minta maaf.

Bisakah kita berlabuh? Terik mentari yang begitu hangat menjadi penambah suasana yang meriah ini, terimakasih sudah memberiku rumah dan mengizinkan diri ini masuk kedalamnya. Biarkan diri ini berbenah dalam ketidakmampuannya, aku menginginkan tempat ini selalu menjadi milik kita.

Rumah dengan banyak buku didalamnya menjadi gambaran dari cerita indah yang akan aku buat, satu persatu lemari kosong itu akan diisi, semoga kau tak jemu untuk membaca helai demi helai kisah itu sebagaimana kau membaca lembaran buku yang ada di toko tempat kita berterus terang. Rangkaian cerita ini akan mulai kurajut, mungkin sudah ada beberapa buku yang diisi dengan cerita keraguan didalamnya, bacalah dan akan kau temui bagaimana hampanya diri ini kala itu.

Terimakasih, telah memberiku rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Celah Dalam Ruang Kesibukan

Keindahan Adalah Dirimu

Tahun Politik yang Menjengkelkan