Disaat Ombak Sedang Bertanya
Kepada sang senja deru suara itu menggelegar diatas hamparan pasir pantai yang begitu indah, rupanya yang elok menggulung sebagian pasir itu ke dalam alunan nada yang diderukan ombak kepadanya, disitulah seorang pria yang sedang kebingungan berdiri, benar itu adalah aku.
Rupa yang tak begitu elok namun rasa syukur yang amat teramat dalam mengarungi setiap jengkal tubuh ini, aku dan senja yang begitu ranum menatap kepadanya. Pikiran yang mengawang, langkah-langkah kecil diri ini selalu menjadi tanda peringatan tatkala aku sedang berkeluh.
Pariaman yang cantik, namun, aku sepertinya masih merindukan keindahan Padang. Tatkala pendidikan menuntutku melakukan pengabdian di salah satu desa yang ada disini membuat sedikit ruang gerak ku menjadi terbatas. Aku merindukannya.
Deburan ombak dikala sore itulah yang menyadarkan hening ku ditepian pantai yang cukup lepas pada daerah ini, rindangnya pohon kelapa menjulai berbisik mengatakan tentang waktu, dia berkata “tak apa, hanya sebentar, semu yang kau rindukan akan kembali” nyiurnya lembut bersuara, lewat perantara angin ucapan itu disampaikan kepadaku.
Air laut itu tak pernah bersolek, namun kehadiran jingga yang makin pekat membuat keindahan semesta itu semakin jelas tergambar, cantik. Ratapan laut masih tak berhenti, sama sepertiku yang masih termenung berdiri dengan keadaan basah kala bercengkrama dengan ombak, obrolan kami semakin meriak ditengah gaduhnya makhluk perkotaan yang ada dibelakang punggungku.
Merenung ternyata tak selalu buruk, selama pengabdian ku di desa bukan lagi tentang memberikan pelajaran kepada masyarakat yang ada disana, alangkah naifnya diri ini membelenggu otak sampai sebegitu kencangnya. Malam itu, sepertinya genap sepuluh hari diri ini berlumur kebanggaan sebagai seorang intelektualitas, namun, ternyata akulah yang paling bodoh disini.
Hidup begitu romantis, dia menegur wadahnya seakan ingin menasehati diriku yang terlalu jauh berkecimpung pada pergaulan kebanggaan, ha aku merindukan keindahan Padang. Sore yang tak begitu cerah awalnya, awan dengan hiasan cat yang pekat bergradasi diatas langit, terlalu mewah untuk menjadi hiasan kepala, juga terlalu sendu kiranya jika dianggap sebagai perumpamaan isi hati.
Aku tak mengurungkan niat, aku tau ombak disana pasti sedang menunggu kedatanganku. Bergegas, motor matic yang sering kupanggil Brad melaju dengan kecepatan standar, karena kurasa terburu-buru bukanlah cara yang bagus menemui aroma laut yang tenang. Motorku dengan ibanya memaksa untuk berhenti, waktu tak mengizinkan kami berkelana lebih jauh untuk sekarang karena ban motorku mengalami masalah.
Hamparan manusia begitu banyaknya dengan aktivitas yang tak asing lagi bagi semua orang, yaitu berbelanja. Pasar adalah halte pemberhentian paksa motorku sekarang, aku menyadari lagi betapa bodoh dan naifnya diriku sekarang. Pasar bukan hanya tempat perbelanjaan biasa, didalamnya tak hanya mengatur tentang uang saja, namun banyak fenomena sosial dan bahkan rohaniah masuk di dalamnya.
Manusia yang beragam, sungguh kreatif sekali Tuhan menciptakan kita dengan berbagai bentuk dan sifat yang mungkin begitu jauh berbeda, porsi kelebihan dan kekurangan yang sedemikian rupa diatur dalam tahapan pembuatan manusia. Ternyata inilah yang orang sebut sebagai anugerah.
Manusia dengan dinamika kehidupan dan perasaannya masing-masing, kelebihan yang aku miliki belum tentu sehebat dan sekuat kelebihan orang lain, mataku yang buta terlalu lemah menyadari hal itu. Aku berterimakasih kepada Pasar dan paku yang tertancap pada ban motorku kala itu, guru yang begitu berharga ternyata bisa kau temui dari musibah yang tak akan pernah kau sangka.
Pikiran yang bercengkrama disela duduk dihadapan motorku yang ternyata sudah selesai diperbaiki, lamunan yang pekat dibuyarkan begitu saja oleh bapak tukang bengkel pengurus motorku tadi.
Aku kembali menyusuri jalan yang penuh keramaian itu, tentu saja dengan isi kepala yang masih saja menari dalam alunan memori yang berisikan pembelajaran serta romansa keindahan tentang manusia, tak hanya selingan, namun sudah menjadi aroma pembelajaran yang begitu indah dalam harmoni kehidupanku. Tak sengaja bencana kecil itu berubah menjadi guru kehidupan yang teramat indah.
Suara ombak itu sudah terdengar, selagi isi pikiran yang tak juga mereda akhirnya terdiam saat mendengar alunan air yang begitu hangat itu menyapa, angin laut yang berhembus dengan syahdu tak pernah terpenjara dalam telingaku, selalu saja memberikan perasaan tenang dengan cerita seru yang disampaikan. Aku merindukan keindahan Padang.
Motor yang sudah aku parkiran, semesta tau diri ini sedang bersedih, pantai yang begitu eksotis itu tak lagi berpenghuni, tidak ada manusia di dalamnya, mungkin waktu senja belum lama terbangun, jingganya masih terlihat mengantuk diatas sana. Angin laut itu memecahkan suasana, dia menyapa berbarengan sebagai teman berpikir dan merenung ku kala itu, terimakasih sudah mendengarkan keluh kesah ku hari ini ujarku.
Berdiri diatas pasir yang begitu lembut, tak sadar diri ini sudah menyatu dengan air yang terdampar oleh ombak, kuyup sudah celanaku, tak apa aku menyukainya. Bermain dengan riangnya, ombak dan pasir itu membelai merayu diri ini, mereka seolah berkata “sudahlah kau masihlah manusia bukan? Tak selalu menuai keindahan, tapi begitulah adanya semesta bukan?”
Aku merindukan keindahan Padang, andai saja kau lihat laut ini dan jauh melihat masuk kedalam kepalaku mungkin tak sengaja kau memeluk tubuh yang rapuh ini, betapa aku merindukannya, senyuman nan ayu dibarengi tatapan yang begitu tajam dengan raut muka ceria itu, aku ingin melihatnya lagi. Dilain kesempatan, semoga kau tetaplah kau dengan laut yang kau sukai.
Komentar
Posting Komentar