Zina Tidak Lagi Jadi Perhatian Utama Masyarakat Adat di Padang
Masyarakat Padang sudah jelas mayoritas masyarakatnya menganut falsafah adat Minangkabau, secara garis besar kita pasti mengenal satu falsafah adat Minangkabau yang melegenda yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau yang biasa disebut dengan ABS,SBK.
Dalam ajaran adat Minangkabau sendiri, banyak sekali aturan yang mengikat segala aspek kegiatan masyarakat, baik dari segi berperilaku, larangan adat, serta pidana adat. Tidak heran jika masyarakat Padang yang mana mayoritas menganut adat Minangkabau mengerti terkait aturan-aturan yang berlaku dari segi pengaturan adat.
Namun kita harus sadar tentang kemajuan zaman pada saat sekarang ini, masyarakat Minangkabau sudah melakukan transisi dari masyarakat yang sangat menjunjung falsafah adat yang diyakini menjadikan falsafah adat tersebut hanyalah sebagai formalitas pribadi saja.
Sekarang adat hanya sebagai identitas masyarakat saja, namun esensinya tidaklah lagi jelas. Terutama dalam upaya penerapan aturan adat yang berlaku.
Budaya Minangkabau yang dilingkari dengan aturan adat yang sangat ketat pada zaman sekarang sungguh bias kehadirannya. Penerapan adat juga makin hari makin sedikit kita temui penerapannya dilakukan oleh masyarakat setempat, yang menjadi sorotan saya adalah penerapan hukum adat yang ada dalam masyarakat sudah jarang tampak.
Dalam pengaturan adat Minangkabau kita mengenal tentang undang-undang nan duo puluh, masyarakat Minangkabau menjadikan aturan ini sebagai suatu kodifikasi meta fisik aturan pidana adat. Aturan ini dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu yang pertama adalah undang-undang nan salapan dan juga ada undang-undang nan duo baleh.
Undang-undang nan salapan adalah aturan materil dalam kodifikasi aturan pidana adat Minangkabau, dalam pengaturan undang-undang ini memuat jenis-jenis kesalahan pidana yang diatur dalam hukum adat Minangkabau. Sedangkan undang-undang nan duo baleh adalah suatu aturan formil dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang diatur dalam undang-undang nan salapan.
Dalam perumusan undang-undang nan duo baleh dibagi menjadi 2 pengaturan lagi dibawahnya yaitu undang-undang nan daulu dan undang-undang nan kudian. Undang-undang nan daulu terdiri dari 6 pasal yang mengatur bagaimana pembuktian terhadap tindak pidana adat yaitu melalui pelakunya sendiri yang tertangkap basah melakukan tindak pidana ataupun sangkaan atau kesaksian masyarakat setempat. Sedangkan undang-undang nan kudian proses pembuktian lebih merincikan tentang prasangka-prasangka yang timbul. Namun sayangnya sekarang tidak semua daerah menerapkan aturan ini, ada daerah yang memang menjadi aktor utama dalam upaya modernisasi dan laju pembangunan, seakan-akan melakukan tindak pidana adat secara terang-terangan. Banyaknya hotel, diskotik dan bar membuat tindakan zina mewabah di Padang.
Tentu saja hal ini terjadi tidak akan ada upaya penanganan tindakan pidana ini secara adat, bukankah hal ini sudah menyalahi salah satu aturan pidana adat Minangkabau? Aturan tentang ini bisa ditemukan pada undang-undang nan salapan yang berbunyi sumbang salah laku parangai, aturan ini berarti segala perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh masyarakat yang ada di Padang terutama masyarakat Minangkabau, dan termasuk zina. Namun tidak ada sama sekali tindakan tegas yang terjadi pada masyarakat Minangkabau yang melakukan hal tersebut.
Saya mengetahui dengan jelas jika pajak dari hotel, bar dan diskotik adalah pemasukan yang besar bagi kebutuhan dalam pembangunan suatu daerah, pajak yang dihasilkan dari tempat-tempat tersebut merupakan ladang untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi pemerintah daerah, namun saya melihat dalam upaya pembangunan ini dan lajunya modernisasi membuat timpangnya berbagai aspek kehidupan masyarakat adat.
Tidak menjadi masalah jika memang pembangun dilakukan Semaju mungkin namun aturan adat yang menjadi patokan masyarakat adat dalam menuai sebuah populasi yang tertata dengan aturan hukum adat tidak sampai tergerus.
Komentar
Posting Komentar