Terbentuknya Kelas Sosial Dalam Jeruji Universitas
Aku, mahasiswa yang lajang. Tidak ada teman saat menceburkan diri ke kumpulan tai itu, hanya bermodalkan cita-cita dari orang tua serta ke-agresifan ku untuk belajar, hanya itu modal ku mencelamkan diri ke gundukan tai ini. Jika kalian mengharapkan keindahan dunia perkuliahan disaat dirimu hanyalah seorang bajingan rendahan, jangan harap jika kamu mempunyai kehidupan perkuliahan yang indah.
Terlalu banyak fenomena yang mengerikan bisa dilihat dari sedikit usaha yang diberikan untuk mengobservasi sedikit tentang jeruji ini. Patologi sosial seakan-akan menjadi wabah yang menjelma sebagai kutukan Tuhan, banyaknya etiket yang salah target menurut standarisasi umum, dikarenakan mereka yang ada di dalam jeruji mempunyai norma baru yang mereka atur sendiri.
Saya akan memberikan gambaran yang sedikit lugas terkait fenomena sosial yang terjadi dalam jeruji Universitas ini, yaitu:
Manusia Menjelma Anjing
Jika kalian masuk ke Universitas setelah bertransisi dari Sekolah Menengah yang menyenangkan, maka jangan heran jika melihat banyaknya gonggongan yang bersifat retorika hanya untuk mencari pengakuan. Mereka para anjing merebahkan tubuhnya ditanah lalu mencari muka, biasanya anjing yang seperti ini memiliki sifat apatis yang begitu kuat, mereka tidak sekedar mementingkan diri sendiri namun mereka juga tidak akan mempedulikan tentang orang lain.
Individualitas ekstrem yang diterapkan membuat mereka merasa sebagai orang (anjing) yang hanya setuju pada tuannya, mereka tidak akan mempedulikan apa saja masukan serta kritik yang berasal dari luar perintah tuannya.
Manusia menjelma anjing mempunyai hobi menjilat, mereka rela membersihkan kotoran yang ada pada sepatu tuannya tanpa merasa jijik. Para anjing ini tidak patuh dengan sukarela saja, namun mereka lebih jahat daripada itu, para anjing mengharapkan imbalan nilai A pada setiap akumulasi penilaian yang keluar di setiap berakhirnya semester, mereka juga berharap untuk dibawa ke setiap seminar nasional yang dihadiri oleh tuannya. Bahkan mereka tidak sadar kalau mulutnya sudah penuh dengan kotoran dari sepatu tuannya.
Gerombolan Kera
Jika kalian tidak percaya bahwa spesies ini ada di Universitas, maka akan dirasakan pada saat pembentukan kelompok secara pribadi di kelas. Para kera yang memang sudah ada pergaulannya sebelum masuk ke sangkar ini pada saat dihadapkan dengan keadaan pembentukan kelompok secara pribadi maka mereka akan berkumpul pada satu tempat. Pada saat inilah kita puncak revolusi terakhir dari mereka akan tersisihkan.
Banyak orang/kera sedikit melemparkan kontra terhadap hal ini, narasi yang sering mereka bawakan itu seperti “kamunya aja yang kurang bergaul, kamunya ga pandai nyari teman, kamunya aja yang gamau jadi kera” ujar sang kera ataupun kritikus sosial terkait permasalahan ini.
Namun mereka para kritikus sosial itu melupakan satu hak tentang kita, yaitu tentang siapa kita? Seringkali cemoohan terhadap orang yang di alienasi dijadikan bahan untuk menyudutkan mereka tentang bagaimana kebodohan kita dalam bergaul, namun mereka tidak pernah berkaca pada diri mereka sendiri bahwa sebenarnya mereka menentukan standarisasi dalam mendapatkan suatu pergaulan membuat kita hanya menjadi onggokan sampah yang tersisa.
Terkadang banyak manusia yang memang menghalalkan segala cara untuk bisa bersaing mendapatkan wadah ataupun tempat dalam jeruji Universitas ini. Seperti yang saya bilang diatas, bisa saja mereka menjadi anjing untuk mendapatkan pengakuan ataupun menjadi kera agar bisa dipandang sebagai orang yang mempunyai pergaulan.
Manusia biasa seperti kita, atau sebut saja bajingan seperti kita akan tersingkirkan dari setiap ruang-ruang sosial, mungkin kata kesetaraan dan keadilan bisa saja hanyalah fana yang selalu kita kejar dengan iming-iming masa depan yang lebih baik.
Pada saat sekarang ini saya bahkan bertanya, sebenarnya apa tujuan saya untuk kuliah yang sebenarnya? Apakah karena antusiasme saya terhadap ilmu pengetahuan yang berbasis sosial dan kemanusiaan? Atau upaya saya untuk menjemput cita-cita orang tua? Masih banyak tanda tanya yang akan muncul saat saya memikirkan ini.
Bahkan manusia biasa seperti saya ditambah dengan sedikit bumbu kemiskinan menyandang kelar mahasiswa saja sudah cukup sebagai anugerah yang terindah bagi orang bodoh yang maniak terhadap ilmu-ilmu sosial.
Mungkin pencarian untuk apa saya menempuh perkuliahan tidak akan pernah ditemukan, bahkan setelah kuliah itu sendiri terselesaikan, dinamika dunia tidak ada yang tau bukan? Terlalu lancang jika sekiranya saya menerka-nerka kehidupan saya sendiri sedangkan Tuhan sudah menyiapkan segalanya tentang kehidupan saya.
Namun secara tegas walaupun saya terasingkan di jeruji Universitas ini, walaupun hanya diri dan nama saya juga diragukan keberadaannya dalam lapas para intelektual ini, saya akan mengatakan bahwa sampai matipun saya tidak akan menjelma menjadi anjing dan kera.
Penulis: Rangga Mulenta
Komentar
Posting Komentar